Di sela penat kerja yang menyesakkan, kesunyian selalu punya kesempatan untuk menyelinap. Walau beberapa kejap, namun bagai oase penyejuk di gurun kejaran waktu.Dia bisa datang kapan saja, tanpa kulonuwun.Menyeruak dari deretan angka-angka statistik,lalu lalang orang di jalan, bahkan di tengah percakapan dengan sahabat. Saat ia datang, semua gambar seakan melambat, slowmotion …
Jauh hari, seorang Eiji Yoshikawa - penulis legenda Musashi yang mengagungkan kesenyapan, mengingatkan agar kita tak terjebak dalam rutinitas yang dapat mengeringkan jiwa, bahkan membunuhnya. Simak saja sepenggal sajaknya berikut :
Apabila aku sibuk
gunung memandangku
apabila aku senggang
aku memandang gunung
walau kelihatannya sama, tapi tak sama
karena kesibukan lebih rendah
dari kesenggangan
Masihkah relevan dengan kekinian, yang sarat pengagungan materi ?Semua kembali pada kacamata apa yang kita gunakan …
Sekedar berbagi, inilah hasil ‘menyepi’ di tengah riuh keseharianku …
- dedikasi untuk para sahabatku, ‘kader posyandu’ : dari ibu Asep yang penuh semangat, ibu Romlah, ibu Atik, ibu Kumaryati, ibu Dedeh ‘si penjelajah’ dan ibu Dadang, juga ibu Sondati yang sudah sepuh di Kebon Gedang Ibu Nining, Ibu Lilis dan ibu Nina yang kader ‘canggih’ di Kebon Waru serta ibu Neuneu dan ibu Lilis di Cibangkong
Dari lorong lorong pengap di sela pikuk pasar dan pertokoan Dari kampung kampung dekil di pantat mal penjaja mimpi dan ketiak gedung perkantoran Pun di tengah himpitan selangkang hidup tanpa kompromi sehari hari Mereka, para bunda pemelihara bumi tetap setia saling berbagi Menjaga nurani, membasuh gerah negeri Merawat tunas tunas penyambung generasi Agar tak kembali hilang lenyap tergerus jaman nan sarat hipokrisi
Mereka, para bunda pemelihara bumi Yang rela menyerahkan diri Yang juga tak ambil peduli ketika kini diingat ataupun kelak bakal dilupakan
- penelusuran beberapa kampung kumuh kota Bandung, untuk suatu tugas penelitian
Melawat beberapa blog, terekam pernik pernik kegembiraan , optimisme, dan kebanggaan meruap. Tak sedikit yang tengah berjuang melawan jerat keraguan, kepedihan dan keprihatinan mengharukan. Namun juga amarah, yang membakar. Salut dan simpatiku untuk yang berani dan sudi berbagi, terutama pahit asam kehidupan. Tak semua siap melakukan hal yang sama. Aku pun termasuk yang terakhir. Perlu waktu beberapa jenak, untuk menerima sayatan luka - sekedar bagian unik hidup yang mesti dinikmati. Sebagaimana sepenggal kata bijak, ‘ Ini juga akan lewat nanti ‘ ...
Inilah beberapa kesaksianku atas hidup, yang tak selalu seindah pelangi. Walau pedih bagai menatah hati, namun mampu membebaskan ....
Perjalanan 1
Gamang kini makin akrab, Pilihan pilihan terasa kian berat Langkah setapak yang menentukan Ke puncak pendakian yang mencerahkan Atau ke dasar lembah - tanpa bayang (awaljuni 2008)
Perjalanan 2
Di simpang jalan ini Udara bertuba Sengalkan nafasku Mencecap gaung sunyi dan getir nyeri, sendiri Mampus ! (awal juni 2008)
Dan manakala rembulan tinggal selengkung tipis Berkemaslah anak-anak Abraham Menyongsong Ramadhan yang penuh ampunan Juga berkah melimpah
Hati yang khusyu' menyeru Asma Allah laku yang zuhud bukakan mi’raj ruhaniah Tentulah sembari tak alpa menyapa sesama
Sebagaimana sepenggal kisah indah : Maka, Nabi pun dengan retoris menawarkan seonggok roti kepada seorang perempuan berpuasa - yang tengah membentak sahayanya Aku berpuasa ya Rasulullah, mengapa engkau beri sepotong roti ? Syahdan, menjawab sang Nabi, banyak orang berpuasa, tetapi hasilnya tiada lain sekedar lapar dan dahaga
- Selamat menunaikan ibadah puasa Ramadhan -
sumber inspirasi : Menuju Kesalehan Otentik, opini Haedar Nashir, Kompas, 30 Agustus 2008
Berteman kerjap bulan merah di sela rimbun daun dan kedip lintang penuntun arah di gelap langit Kembali kurayapi punggung angkuhmu, hai Sumbing Engkau yang menyembunyikan jurang jurang dalam menggetarkan , menjanjikan misteri menggairahkan, juga maut mematikan yang niscaya mengintip lengah menjerat langkah Sementara di rahimmu berlimpah air sumber hidup yang tak lelah mengalir jauh ke induk samudra selatan untuk kemudian tak jemu kembali ke pelukanmu dalam deras hujan
Kan kusesap nikmat embun malam berkilau yang berayun bermain angin di pucuk ilalang berkelok jalan setapak Dan kuhirup rakus aroma rimbun pinus yang memabukkan Pun meski berkali terjerembab akar dan sayatan duri tersamar di belukar Serta dinding dinding andesit perkasa yang menciutkan nyali Semua hanya membuatku selalu ingin kembali Segera ...
Peluh yang membanjir diam, penat yang mendera tersekap dingin menyingkir perlahan manakala langkah kaki tlah mencapai batas pijakan Di sanalah tak henti kau bermurah hati menuntas rinduku Pada arakan sunyi awan kelabu semburat jingga di timur Pada putih edelweiss yang terangguk angguk ramah mengiyakan elokmu Pada kesadaran betapa debunya aku di tengah bentang dahsyat alas kakiMu Sementara nun di lembah kabut putih merayap malas enggan pergi dari atas kanopi hijau hutanmu yang menyeruakkan kokok lantang pertama si unggas jantan
Kemudian, di puncak ekstase Hanya kesenyapan Hening Bening ...
- refleksi kenangan pendakian, kala menelusuri kawah ratu tangkuban perahu, bersama anak anak dan istri
rindu ini masih untukmu meski tak selalu mampu kuurai simpulnya kadang ia datang menyelinap berjingkat bersama semburat senja kemudian memuncak dalam resah kala bulan di ujung malam
sering pula ia berlari menghambur meniti cerah surya dini hari untuk kemudian meruap penuh gairah di penggal siang yang menantang
namun tak jarang ia tak teraba indera menguap tanpa isyarat entah kemana ...
rinduku untukmu laksana buih membuncah di titian ombak selatan tak malu ia pasang pun tak sungkan surut
rindu ini selalu ada untukmu dan tengah kucoba urai simpulnya
Dan rembulan pun tersingkap sempurna pamerkan pesona dan genit manjanya tergolek telanjang di langit malam mengundang hasrat - menepis ragu percikkan cinta gelegakkan nafsu mari, mari, biar kurengkuh harummu kudekap kucumbu hingga pagi tiba sebelum akhirnya ... terhempas bersama
- untuk teman-teman tki, pejuang sunyi di negeri pikuk seberang
Ketika Bibi, pembantu kami Tak datang lagi suatu pagi ... Terbayang nyata di pelupuk mata : Baju dan celana kumal bau, berlimpah di mesin cuci Bertimbun cucian kering keriting, berderet antre di kamar seterika Onggokkan piring dan gelas, bekas sarapan - sampai makan malam Ranjang yang poranda dan mesum, jejak pergumulan semalam Mainan anak terserak di lantai, buku, koran dan remah makanan Tumpahan kopi Juga debu
Ketika Bibi yang telah tua, namun setia tak datang lagi untuk kesekian kali, Selusin tanya bergayut di dada : Penyakitkah kini yang menghempaskan tubuh rentanya ? Atau, adakah tanda rahasia yang tak kasat mata ? isyarat sunyi yang tak sempat terungkap ? bahasa tubuh yang gagal kami baca ?
Ketika Bibi tak datang lagi ... Yang tertinggal kini Rekaman bertahun kesetiaan Dan keperkasaan Barangkali juga derita yang diam membisu
Menyusuri jalan sunyi Lengang dari pikuk duniawi Hening dari tepuk seremoni Bukan berarti tak menjejak bumi Pun tak hendak menafikan nurani
Karena jalan sunyimu Bukanlah tujuan hakiki Sekedar peneguh ikrarmu Melayani Sang Guru Sejati fred, 25 Juli 2008 (untuk sahabatku - seorang pastur, yang hari ini berulang tahun semoga diteguhkan dan setia dalam panggilannya)
Lampu stadion t'lah lama dipadamkan deretan bangku tercenung sunyi hamparan rumput hijau bernafas lagi spanduk dan bendera kembali terlipat rapi atribut dan lencana berderet masuk laci
Peluit panjang sebentar bakal dilupakan hiruk pikuk tak lagi berkumandang damai kembali turun atas bumi .........................
Yang tersisa kenangan kolektif - juga yang pribadi : nikmat dan bangga membuncah bagi sang juara sejati namun pedih tak terperi bagi sang pecundang
Rasa sakit dan nikmat tak lama bakal lewat selamat bertemu kembali di arena pembuktian yang lain ...
Barangkali Fatih Terim benar, saat mengatakan bahwa tidak ada keajaiban dalam sepakbola, yang ada strategi yang tepat, dan berikutnya adalah : kerja keras dan kerja keras ! Lihatlah Belanda, yang begitu mempesona dengan super total footballnya kreasi anyar van Basten, dibuat tak berdaya - layaknya kawan latih tanding bagi anak-anak muda penuh talenta beruang merah Rusia - hasil gemblengan penuh dedikasi Tsar Guus Hiddink. Tengok pula Gli Azzurri Italia, 4 kali kampiun dunia, namun uzur usia, dikirim pulang lebih awal oleh La Furia Roja Spanyol – yang penuh semangat muda matador - namun selalu bermain menawan dan tak pernah kendor. Syahdan, Spanyol dengan tradisi sepakbola tensi tinggi, yang akhirnya menghancurkan mimpi indah si jenius Andrei Arshavin , mengirim pulang lebih cepat pasukan beruang merahnya. Barangkali dengan satu pesan penting : mulailah lebih sering bertarung di klub-klub Eropa ! Kemudian Turki – The King of ComeBack, - 3 kali berhasil membalik keunggulan lawan jadi pecundang pada menit-menit akhir, dihajar der panzer Jerman – pembuktian si ' juara menit akhir ' sejati
Barangkali Fatih Terim - arsitek pasukan Kemal Ataturk - benar bahwa tidak ada keajaiban dalam bermain bola. Namun bagaimana dengan keberuntungan ?
Tak disangkal, di final, ada adu pintar strategi antara si tua temperamen namun sederhana Aragones dan si perlente muda Loew. Juga ada kerja keras Saint Iker Casillas – kiper kapten tim matador dengan karunia reflek luar biasa dan sederet gelandang brilian : dari Iniesta, Xavi, Fabregas, Senna, sampai Silva . Sementara di seberang ada pasukan mental baja der panzer dengan playmaker kapten Ballack , duet striker Podolski – Klose, gelandang muda berbakat Schweinsteiger dan Frings, tembok kokoh Metzelder , juga si tua Lehmann.
Namun karena Spanyol punya Torres - si El-Nino dengan lari secepat topan, maka terpedayalah si tua Lehmann karena telat satu detik yang mematikan. Satu detik yang membuat perbedaan. Perbedaan yang melahirkan gol semata wayang tim matador, untuk meraih trofi Henry Delaunay - mahkota kampiun sepakbola tertinggi Eropa . Satu detik keberuntungan ?
Barangkali memang tidak ada peluang lagi , bagi tim yang hanya mengandalkan tekad baja untuk meraih kemenangan – hanya kemenangan ! Dibutuhkan pula mental juara, tehnik individu prima serta kerjasama tim yang apik, dan mungkin sedikit keberuntungan – juga jangan lupa : kegembiraan bermain ! Dengan hati gembira, permainan akan menjadi lebih indah, dan pemenang akhirnya : sepakbola !
- untuk para euro cup mania Ketika peluit pertanda melengking tendangan pertama diayunkan keringat menetes menderas emosi merambat membakar dan jerit histeria suporter menggemuruh meledak liar .... itulah awal kenikmatan juga derita panjang multiorgasme massal godaan syahwat .... cengkeraman sihir bola : GOO ...AAL !!! GOO ...AAL !!! GOO ...AAL !!!
..................... Wanita diciptakan dari rusuk pria Bukan dari kepalanya untuk menjadi atasannya Bukan pula dari kakinya untuk dijadikan alasnya Melainkan dari sisinya Untuk menjadi teman hidupnya ......................
demikian kata bijak sang pujangga namun bagiku, wanita tetaplah misteri, miracle, keajaiban ..... yang menakjubkan namun kadang juga menjengkelkan...... maka : memahami lakunya tak sesederhana mengamati laku jenaka kupu-kupu pinggiran kali merenungi keindahannya tak semudah mengagumi eloknya tiupan sax Kenny G
menyelami lubuk hatinya tak segampang mendalami ujar-ujar sang dalang - lewat wayang dan memaklumi kemayunya tak cukup dengan logika kejantanan kaum pria
namun demikian, tak pernah susut rinduku tak bakal surut langkahku belajar mengenali kembali bagian ragaku yang hilang agar dapat kembali menyatu
Pada mulanya ... di suatu siang - yang tak istimewa datang padaku gadis manis dengan senyum ramah membuka sapa Bandung kota asalku – tempat aku memulai segala ke kota kecil sepi ini mengikuti nurani, dan panggilan tugas tentu saja begitu kata-katanya mengalir terbuka mengingatkanku pada riak jernih kali Baguia
Ah, gadis manis ceria ... Kepolosan lugu di matamu dan jerawat subur di wajahmu menjadikanku bertanya-tanya apa gerangan yang kau cari di negeri bara terpendam ini benarkah karena panggilan hati ? atau terpikat petualangan penuh sensasi ? barangkali pelarian frustasi ? atau sekedar kejahilan kanak-kanak saja, yang tak cukup lagi halaman bermain di kampung sana ?
Apapun itu , tercetus tekad ganjilku : Demi kedua mata polos lugu Dan barisan jerawat di wajahmu Aku akan relakan hari-hariku untukmu
Maka, kitapun saling bertukar cerita Diseling tawa canda Ah, bagai kawan lama saja ...
Obrigado barak, Maromak ! Tiba-tiba kurasa, sisa siangku hari itu berasa lebih istimewa dan sulit kupercaya - waktupun kok ya terasa berlari lebih cepat dari biasa ... Hmm, inikah yang dinamakan cinta atau hanya ilusiku semata aku tak mampu menjawabnya karena aku apalah : laki-laki, yang tak kalah lugunya ... (ha..ha..)
Tak kusadari, di atas sana sang malaikat penjaga kala t'lah goreskan tinta eska-nya takdirku bersama si gadis ceria ..................
- untuk korban lumpur Lapindo para pengungsi di negeri sendiri
Setelah lumpur tuan berkuasa Atas masjid dan rumah Atas pasar dan sawah Atas tempat bermain dan sekolah Di sinilah aku sekarang , dari pagi hingga petang dari malam sampai subuh menjelang : tidur berhias bulan bintang (Ah, bagi kami, yang demikian tak jadi apa)
Tak perlu tuan sibuk tandang menyapa Karena saku tuan sarat kuasa, tentulah waktu tuan sangat berharga Sementara aku apalah : si jelata tanpa daya Maka tuan cukup kedipkan mata, sebagai tanda bela rasa Boleh juga dari sana bersabda bla ...bla ...bla jangan lupa diliput media ya ...ya ... ya Itupun, sudah akan membuatku merasa bermakna : " Ya Allah, syukur atas karunia, Perhatian dari yang mahaberpunya , di seantero negeri , loh bahkan, di manca pula ! "
Alangkah lebih berbahagia, jika boleh ikut merasa Sedikit saja - remah yang tersisa Makan siang tuan dan nyonya Dan aku akan lebih giat mendoa : Semoga tuan selalu jaya Agar dapat tetap membuatku bangga
Aku di sini sekarang, di bawah jembatan layang Menyimak takzim pelajaran hari ini : Jalanan adalah lahan memanen uang, yang gampang dan bisa selalu diulang dengan modal wajah kuyu atau rintihan lagu tak perlu merdu bahkan dengan sedikit saja otot gempal di bahu
Jalanan juga tempat buang sampah dan sumpah serapah, yang lega, dan sungguh tak susah Dari tuan terhormat di mobil mengkilat, sampai gerobak rombeng akang penjaja ketupat
Jalanan juga yang membuatku pintar bermain dokter-dokteran Dengan abang garang bertato macan atau kakek jompo dengan selangkang kudisan
Aku di sini sekarang, di bawah jembatan layang Sebab ayahku terjerat utang giliran kena phk katanya, dan bunda dibui sial tertangkap razia
Inilah kelasku kini Jalanan buku ajarku Tak pusing lagi aku, dengan wajib belajar mu yang konon - gratis itu Namun tetap tak bebaskanku bayar ini dan itu
Cinta semata wayang Akankah bakal tak lekang Saat perut membuncit tak kencang Payudara tak lagi menantang Kulit keriput kusam kerontang Rambut memutih bukan kepalang atau kepala botak telanjang ...
Cinta semata wayang Akankah bakal tak lekang Sampai maut menerjang ?
Di tanah ini harga diri t’lah jauh hari mengikuti selera sendiri : hari ini semurah goreng pisang esok lusa semahal tebasan parang tergantung siapa akan jual siapa pengen beli
Di tanah ini hukum rimba yang memberi makna maklum, ini wilayah operasi katanya jamak jika petani da Silva - yang kini milisia tak sulit membuat terbirit Roberto - yang kepala desa cukup bermodal rompi ala serdadu dan gertak sambal senapan rakitan di bahu
Di tanah ini tuak mutin dan kitab suci bisa akur di tempat yang sama : penawar lapar dan dahaga pagi giat misa, sore mabok lagi siang tarung ayam, malam novena lagi
Karena di tanah ini para penguasa abaikan rakyat hingga suburlah mental bejat, tiba masanya undurkan diri atau ditendang, biar tau diri !
Cintaku terbebas di timur
sebebas kuda perkasa padang rumputan
selepas tawa kanak bermain layangan
namun juga tersembunyi sunyi di sudut negeri
yang tengah memintal mimpi
menjadi bangsa yang mandiri
dan tegak dengan harga diri
Cintaku berlabuh jauh di timur
sejauh hati menanggung pedih luka
dari tubuh kenyang derita aniaya
dan tatapan bisu kering airmata
semua atas nama kehormatan negara
entah dicapai tanpa hirau susila
Cintaku tumbuh akar di timur
di sela karang tajam batu hitam
di terpa angin dingin tepi lautan
menyeru lantang di lembah kering gersang
namun juga gelisah di tengah pusaran zaman -
yang kian membingungkan
Adakah masih kau ingat tebing berbatu tempat merayap Saat dingin berkabut menyelinap tatap matapun perlahan menghangat bilur di kaki dan gigil tubuhmu, tak surutkan langkah
Adakah kau ingat kali kecil tempat menyepi riak beningnya seakan sembunyi menanti dahaga penikmat
kemudian, hujanpun menderas lekas sebab bivak tak serapat atap, kita pun saling mendekat mendekap
Barangkali engkau masih ingat fajar mengintip malu, di puncak Sunyi dan sihirnya menjerat niat : takdirku kembali susuri jejak